Tari Angklung Bungko
Angklung Bungko adalah salah satu
dari sekian banyak genre seni tradisi yang tumbuh dan berkembang di daerah
Cirebon. Seperti juga halnya seni – seni tradisi sejenis yang tumbuh di
berbagai dareah di Propinsi Jawa Barat dan Banten – Angklung Baduy, Angklung
Buncis Angklung Sered, Angklung Gubrag, dll. Angklung Bungko memiliki arti
penting dalam siklus kehidupan masyarakat pemiliknya. Oleh sebab itu, sekalipun frekuensi pertunjukkannya saat ini
tidak lebih baik dari seni yang bersifat profan, tetapi paling tidak secara
fungsional Angklung Bungko masih dapat memperlihatkan eksistensinya.
Sebagaimana pada umumnya seni
tradisi yang bersifat kolektif, Angklung Bungko tidak dapat berdiri lepas dari
masyarakat penyangganya. Maka tak pelak lagi, interaksi sosial lingkungan
masyarakatnya adalah keniscayaan bagi kelangsungan hidup kesenian (tradisi)
khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Sebagai salah satu yang penting dari
kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri.
Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan dengan demikian juga kesenian
mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan
untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru.
Angklung boleh jadi sudah menjadi
alat musik tradisional yang dimiliki oleh Jawa Barat dan sudah ditetapkan
menjadi warisan dunia. Namun di Cirebon, selain sebagai alat musik, ada juga
Tarian Angklung Bungko.
Ada beberapa yang menarik dalam
mengupas soal Angklung Bungko tersebut. Salah satunya terkait alat musik
angklung yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai alat musik tradisional khas
Jawa Barat. Ternyata, Cirebon lebih dulu mengenal alat musik tersebut sekitar
tahun 1500. Adalah Ki Gede Bungko yang mulai memperkenalkannya. Ki Gede Bungko
sendiri merupakan salah satu senopati dari Majapahit yang mengasingkan diri.
Dia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Hingga akhirnya tiba di
daerah pesisir yang kemudian dinamakan Desa Bungko.
Kedatanga Ki Gede Bungko awalnya
untuk menghentikan penyebaran agama Islam yang telah meruntuhkan Majapahit.
Niat awal ingin menghentikan penyebaran agama Islam, Ki Gede Bungko justru
masuk Islam dan berguru kepada Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif
Hidayatullah. Hingga akhirnya dia dikenal menjadi Senopati Sarwajala atau
komandan angkatan laut.
Ki Gede Bungko juga yang
mencipatakan gerakan-gerakan tarian Angklung Bungko. Alat musik angklung
sendiri, terpengaruh dari daerah Blambangan yang terlebih dulu mengenal alat
musik dari bambu tersebut. Sementara di Jawa Barat, angklung mulai dikenal dan
dikembangkan oleh Gaeng Sutigna pada tahun 1935. “Jadi, Cirebon ini sebenarnya
sudah mengenal angklung lebih dulu dari pada Bandung,” ucapnya lagi.
Mulai awal 1500 Masehi, Ki Gede
Bungko disebut sudah menggunakan tarian Angklung Bungko untuk menyiarkan
nilai-nilai Islam. Meskipun demikian, gerakan tarian Angklung Bungko
melambangkan dan menceritakan peperangan. Angklung Bungko itu menjadi salah
satu penabuh genderang perang dan pemacu semangat. Keterlibatan Ki Gede Bungko
memang cukup intens dalam membantu peperangan melawan kolonial. Pada tahun
1525, pasukan angkatan laut Ki Gede Bungko terlibat dalam penyerangan terhadap
Sunda Kelapa, yang tergabung dalam Kesultanan Demak dan Banten yang dipimpin
oleh Fatahilah. Pada tahun 1528, dia juga terlibat dalam Perang Palagan di
Gunung Kromong Palimanan antara pasukan Cirebon dan Galuh. Kemudian pada tahun
1529, juga terlibat dalam penaklukkan Talaga. Tahun 1567 terlibat dalam
penumpasan Lawa Ijo bajak laut.
Angklung Bungko adalah tarian khas
Desa Bungko di Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon. Tarian ini diiringi alat
musik gendang, angklung, tutukan, klenong dan gong. Kesenian ini pada awalnya
berupa musik ritmis dengan menggunakan media kentongan (kohkol) yang terbuat
dari potongan ruas bambu, kesenian ini di perkirakan lahir menjelang abad ke-17
setelah wafatnya Sunan Gunung Jati. Namun sampai saat ini tak seorangpun
mengetahui siapa penciptanya.Dinamakan Angklung Bungko adalah karena kesenian
tersebut tumbuh dan besar di daerah Bungko, Cirebon Utara. Kesenian ini
tercipta atas dasar luapan emosi kegembiraan masyarakat Bungko setelah
memenangkan perang melawan pasukan Pangeran Pekik (Ki ageng Petakan). Gerak
tari dalam Angklung Bungko lebih merupakan penggambaran peperangan saat masyarakat
pemilik kesenian tersebut mematahkan serangan pasukan Pangeran Pekik.
Gerakan
dalam Tari Angklung Bungko
Gerak-gerak tari dalam Angklung
Bungko lebih merupakan penggambaran peperangan saat masyarakat pemilik kesenian
tersebut mematahkan serangan pasukan Pangeran Pekik. Tentu saja setelah melalui
proses stilisasi dalam rentang waktu
yang cukup panjang, akhirnya tari-tarian itu tercipta dengan segala
keindahannya yang sarat dengan perlambang
yang menggambarkan sikap mental anak manusia dalam menghadapi perjuangan
hidup.
Tari-tarian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Panji,
menggambarkan sikap berdzikir;
2. Benteleye,
menggambarkan sikap bertindak dalam menghadapi rintangan dalam perjalanan;
3. Bebek
ngoyor, menggambarkan jerih payah dalam upaya untuk mencapai tujuan, dan
4. Ayam
alas, menggambarkan kelincahan dalam mencari sasaran yang terpilih.
Tari Angklung Bungko atau disebut
juga tari perang, memiliki makna filosofis yang cukup dalam bagi masyarakat
Desa Bungko. Tarian tersebut sebagai gambaran totalitas kehidupan komunal yang
demokratis. Ki Ageng Bungko (Ki Puyunan)
sebagai tokoh panutan yang berjiwa egaliter dan banyak berjasa pada masa
hidupnya, kini seolah-olah menjadi simbol kehebatan masyarakat Bungko. Maka
untuk mengenang jasa-jasa dan kehebatan leluhurnya itu, mereka memandang perlu
mengadakan upacara peringatan sebagai tanda penghormatan kepadanya. Tanda
penghormatan tersebut, mereka
implementasikan ke dalam bentuk upacara adat ritual yangn dikenal dengan
upacara adat Ngunjung. Kegiatan Ngunjung itu sendiri mempunyai arti mengunjungi
atau Khaul yang pada intinya adalah menaklukkan kegiatan do’a bersama sebagai
tanda bakti seorang anak kepada orang tua.
Dalam kegiatan inilah Angklung Bungko menemukan vitalitasnya sebagai
kesenian tradisional. Angklung Bungko dalam upacara ritus tersebut, tidak hanya
sekedar untuk memeriahkan, tetapi lebih sebagai penguat. Sebagai media komunikasi antara si pelaku
(masyarakat Bungko) dengan roh (arwah) orang yang diperingatinya yang diyakini
saat itu hadir, ada di sekitar mereka. Tarian dalam upacara ritual tersebut
seperti dijelaskan oleh Jakob Sumarjo dalam bukunya Perkembangan Teater dan
Drama Indonesia adalah perilaku teatral atau laku dramatik yang lebih bermakna
sebagai bahasa komunikasi untuk pihak lain, dalam hal ini adalah roh.
Kostum yang digunakan mirip dengan tarian
sintren. Yakni penarinya yang menggunakan kacamata hitam, pakaian terbuka
telanjang dada dengan menggunakana celana pendek. Hal ini menggambarkan tentang
seorang nelayan, ada juga yang menggunakan iket jenis ayam anggrem atau
mengeram. Hal ini memiliki makna segala kegiatan itu harus memiliki tujuan
generasi, juga penggunaan selendang yang melambangkan “lam alif”. Namun tarian
Angklung Bungko ini, memiliki keunikan tersendiri. Tarian Angklung Bungko hanya
dimainkan oleh laki-laki dan tidak memiliki unsur magis. Gerakannya seperti
dalam gerakan silat. Karena tarian ini memang sejarahnya menceritakan
peperangan zaman dulu, salah seorang penari dan juga pelestari Tari Angklung
Bungko.
Keunikan lainnya, para penari
juga saat memainkan tarian Angklung Bungko, memakai selendang dan keris, juga
bedak kuning dari bahan baku kunir dan garam. Bedak kuning itu ditaburi ke
sekujur tubuh
0 Komentar