Di kawasan yang luasnya mencapai
seperenam Pulau Jawa inilah, suku Sunda yang kreatif banyak melahirkan karya
seni mereka, salah satunya adalah Ketuk Tilu.
Ketuk Tilu adalah tarian rakyat
yang masuk dalam kategori tari pergaulan, yang dikemudian hari menjadi cikal
bakal lahirnya Tari Jaipongan. Di masa awal, kesenian ini diduga kuat sebagai
sarana ritual penyambutan panen padi.
Tari Bajidor Kahot, Jawa Barat -
Antara Tari Tekuk Tilu dan Jaipongan
Upacara yang dilakukan di malam
hari tersebut bertujuan untuk mensyukuri serta memohon keselamatan dan
kesejahteraan umat manusia. Saat ini, Tari Ketuk Tilu hanyalah sebuah tarian
pergaulan yang difungsikan hanya sebagai hiburan.
Perihal namanya, istilah Ketuk
Tilu merujuk pada 3 buah ketuk (bonang) sebagai pengiring utama yang
menghadirkan pola irama rebab. Selain itu, ada dua kendang, indung (besar) dan
kulanter (kecil).
Kedua kendang berfungsi untuk
mengatur dinamika tari dengan diiringi oleh kecrek dan gong. Tari Ketuk Tilu
biasa digelar pada berbagai acara, seperti perkawinan dan acara lain, baik umum
maupun khusus. Di desa-desa tertentu, pertunjukannya bisa berlangsung semalam
suntuk.
1. Sejarah Tari Ketuk Tilu
Dalam sejarahnya, tidak ada
sumber yang pasti yang menjelaskan kapan Tari Ketuk Tilu muncul di Priangan.
Umumnya, sumber-sumber yang ada hanya mengisyaratkan perihal ronggeng sebagai
unsur utama dari Ketuk Tilu.
Sehubungan dengan ini, Jacob van
Middelkoop menulis manuskrip yang berjudul “Reglement van de Tandak op Ronggeng
te Cheribon” (1809). Sumber kedua adalah tulisan Pleyte (1816) berjudul “De
Eerste Ronggeng” yang menceritakan kisah tentang profesi ronggeng saat ia
berkunjung ke Tasikmalaya.
Sumber lain tentang ronggeng ada
di Kidung Sunda (kisaran 1550). Pada nyanyian III, bait ke-49, ada kisah
menyedihkan tentang Hayam Wuruk yang patah hati karena ditinggal mati pujaan
hati, Diah Pitaloka sang putri Raja Sunda.
Ada gambaran tentang ritus
kematian (titiwanira) yang menyajikan berbagai pertunjukan. Diantaranya men-men
(drama), igel (tarian indah), tujuh tarian perang (babaris-an), gadis-gadis
yang menari (ronggeng), pertunjukan wayang, dan drama topeng yang bagus sekali
(Holt, 1967:288-289;Soedarsono, 2000:446-447).
Selain itu, ronggeng juga
disebutkan di sebuah sastra lisan, yakni Pantun Bogor, khususnya di Episode Sri
Langlang Bumi. Ada ungkapan “…dia kabehan dijurung ku Eyang mudu Ngalalana
jaradi ronggeng mawa ngeran Ronggeng Tujuh Kalasirna” ditulis oleh Ki Buyut
Rombeng, 1908 (Nalan, 1993:68; Rosidi ed., 2000: 297).
Tari Ketuk Tilu sendiri
mengandung unsur tarian, nyanyian, dan tetabuhan. Nyanyian dan tarian dibawakan
oleh seorang perempuan yang disebut ronggeng.
Ronggeng dengan fungsinya yang
sentral adalah primadona dalam Ketuk Tilu yang menari dan membawakan lagu sehingga
suasana menjadi lebih meriah. Melalui ronggeng juga kesenian ini menjadi sangat
digemari oleh masyarakat, terutama pada masa kolonial hingga masa kemerdekaan.
Ketuk Tilu menjadi sangat
berkembang karena dijadikan ajang popularitas dan bisnis. Hal ini ditandai
dengan kelompok-kelompok Ketuk Tilu yang banyak tersebar di hampir setiap
tempat di Priangan.
Disamping itu, Ketuk Tilu
bertahan hidup juga diduga mengakar pada kepentingan upacara. Ketika alam
pikiran manusia masih diliputi mistis, kesenian ini memiliki kedudukan penting
dalam kehidupan berbudaya.
Di masa lalu, Ketuk Tilu sangat
dikaitkan dengan upacara menyambut panen padi sebagai rasa terima kasih kepada
Dewi Sri. Dalam ritual tersebut, ronggeng berperan sebagai shaman atau pemimpin
upacara yang diyakini mampu menjadi mediator antara dunia “atas” dan dunia
“bawah” atau mampu berkomunikasi dengan leluhur.
Seiring perkembangan dan
perubahan sosial masyarakat di Priangan, meski tetap berkembang, fungsi Ketuk
Tilu pun mengalami perubahan. Perlahan tapi pasti, kesenian ini kemudian hanya
difungsikan untuk hiburan yang berorentasi pada kepentingan ekonomi, terutama
dikalangan masyarakat bawah.
Ronggeng pun menjadi sebuah
profesi dalam mencari uang untuk menopang kebutuhan hidup. Pada tahun 1970-an,
peningkatan tingkat kreativitas masyarakat mengangkat Ketuk Tilu menjadi sebuah
seni pertunjukan.
2. Perubahan Fungsi Tari Ketuk Tilu
Kesenian tradisional, tidak
terkecuali Ketuk Tilu, akan selalu berubah baik dalam hal fungsi maupun
bentuknya. Perubahan tersebut disebabkan oleh perubahan sistem sosial, ekonomi,
politik dan budaya.
Dimasa awal, Ketuk Tilu adalah
sebuah tarian sakral yang menjadi bagian dari upacara ritual. Fungsinya pun
dijadikan sebagai persembahan kepada para leluhur dengan waktu dan tempat yang
telah ditentukan.
Ketika alam pikiran manusia yang
mistis tergantikan oleh pola pikir yang rasional, fungsi dan bentuk Ketuk Tilu
pun mengalami evolusi, cenderung lebih profan sebagai sarana hiburan semata.
Hal ini lebih kentara pada masa-masa
penjajahan, dimana kesenian ini dijadikan ajang hiburan bagi para pekerja
perkebunan. Muncullah istilah doger, sebagai wujud lain dari Ronggeng dan Ketuk
Tilu.
Pada masa-masa itu, Ketuk Tilu
juga sebagai ajang bisnis dan mencari nafkah. Para pelaku, menyajikannya dengan
cara berkeliling atau ngamen. Selanjutnya di masa-masa kemerdekaan, seiring
kesadaran akan kebutuhan estetik, masyarakat semakin kreatif hingga mengangkat
kesenian ini menjadi sebuah seni pertunjukan.
Dalam fungsinya sebagai seni
pertunjukan, Ketuk Tilu disajikan dengan lebih sempurna, termasuk penyempurnaan
koreografi, musik pengiring, hingga tata busana.
3. Penyajian Tari Ketuk Tilu
Dalam pertunjukannya, Ketuk Tilu
terbagi dalam tiga bagian. Bagian pertama diisi oleh pengiring yang melantunkan
irama gamelan, rebab dan kendang. Bagian kedua, penari akan memperkenalkan diri
sambil menari seiring dengan telah berkumpulnya penonton.
Bagian ketiga adalah inti
pertunjukan yang biasanya dipandu oleh seorang juru penerang. Pada bagian
terakhir ini, penari (ronggeng) mengajak penonton menari bersama ataupun menari
secara khusus berpasangan dengannya, tidak jarang jika ingin menari
berpasangan, penonton harus membayar sejumlah uang (sawer).
Di masa lalu, struktur
pertunjukan umumnya dimulai dengan tatalu yang berisi sajian gending pembukaan,
disusul ronggeng masuk arena beriringan sambil menari. Selanjutnya ada taxi
jajangkungan yang diiringi instrumentalia gamelan.
Setelahnya, ada wawayangan yang
dilakukan ronggeng dengan posisi setengah lingkaran atau tapak kuda. Pada sesi
ini, mereka menari sambil menyanyikan kidung, setelah itu para ronggeng
berbanjar ke samping menghadap panjak (penabuh atau nayaga).
Kemudian, lurah kongsi (pemimpin
rombongan) mulai membakar kemenyan dalam parupuyan berdekatan dengan
pangradinan (sesaji). Dibacakanlah mantra-mantra untuk memohon keselamatan
selama pagelaran serta minta rezeki yang melimpah. Tidak terlupa, dibajakan
juga asihan agar para ronggeng disukai oleh para penonton.
Melalui pembacaan asihan diharapkan
para penonton bermurah hati untuk memberi sejumlah uang. Selama babak ini,
gamelan terus mengalun harmoni bersama kidung, hingga ronggeng pun mengambil
posisi bulan sabit menghadap penonton untuk memulai babak erang.
Pada bagian erang, ronggeng menari
secara bebas diiringi lagu erang bersama penari dari penonton. Babak ini
disajikan khusus bagi para penonton yang gemar menari, sebagai pemanasan atau
bonus karena hanya pada babak inilah mereka bisa menari tanpa harus membayar
Pasakan (uang bokingan).
Ketika erang selesai, saatnya
masuk pada babak pasakan yang mengharuskan penari penonton untuk membayar uang
pasak jika masih ingin menari. Oleh karena, melibatkan penonton dalam
pertunjukannya, Ketuk Tilu disebut sebagai tari pergaulan.
Babak yang memungkinkan penonton
dapat menari dengan ronggeng juga sering disebut dengan Parebut Ronggeng.
Istilah tersebut disematkan karena seringkali terjadi kericuhan saat penonton
memilih pasangan menari mereka.
Oleh karena hal ini, kesenian ini
pernah dilarang oleh pihak pemerintah dengan alasan demi ketertiban umum dan
keamanan. Meskipun begitu, pada kenyataannya, Ketuk Tilu tidaklah lenyap karena
masyarakat penggiat selalu berusaha untuk melestarikannya.
Salah satu hal menarik dari Ketuk
Tilu, konon kabarnya ada gaya tarian tersendiri dalam kesenian ini yang
disesuaikan dengan ciri khas daerahnya. Beberapa nama gaya tarian diantaranya
adalah depok, sorongan, ban karet, lengkah opat, oray-orayan (ular-ularan),
balik bandung, torondol, angin-angin, bajing loncat, lengah tilu dan cantel.
Dalam hal durasi, kesenian ini
cukup fleksibel, bahkan di desa-desa tertentu di Jawa Barat, ada yang
menggelarnya hingga semalam suntuk. Saat ini, kesenian ini masih bisa dijumpai
di Kabupaten Bandung, Karawang, Kuningan, dan Garut.
Tari Ketuk Tilu sangatlah khas,
baik dilihat dari gerak-gerak tarinya, karawitannya, serta ketentuan-ketentuan
dalam penyajiannya. Sebagai misal, ada gerakan berpola kendang, ada juga
gerakan yang menggambarkan keseharian serta gerakan-gerakan improvisasi yang
disesuaikan dengan irama lagu pengiringnya.
Disamping itu, kesenian ini
cenderung menghadirkan nuansa gembira, romantis, merangsang, horitis, cerah,
lincah, akrab dan penuh kejiwaan.
4. Iringan dan Tata
Busana Tari Ketuk Tilu
Seperti disebutkan di awal-awal
artikel ini, bahwa penamaan Ketuk Tilu berasal dari nama musik pengiringnya.
Perangkat tabuhan sangatlah populer dan tersebar hampir di seluruh tatar Sunda.
Pada Ketuk Tilu, nama perangkat
dipinjam dari salah satu waditra yaitu ketuk yang terdiri dari tiga buah
(penclon atau koromong). Waditra lain yang ikut terlibat adalah satu unit
rebab, satu buah gong dan kempul. Selain itu ada juga satu kendang besar dan
dua kendang kecil (kulanter), serta satu unit kecrek.
Selain musik pengiring, kesenian
ini juga diiringi oleh lagu kidung yakni kidung erang sebagai lagu wajibnya.
Ada juga lagu-lagu lainnya, seperti emprak, polos tomo, naek geboy, berenuk
mundur, kaji-kaji, gorong, tunggul kawung, gondang, sorong dayung, cikeruhan,
prangparangtarik, renggong buyut, awi ngarambat dan bangket solontongan. Selain
itu, ada juga lagu paleredan, geseh, kembang beureum, sonteng, ombak banyu,
gaya engko, mainan, karawang barlen, soloyong dan masih banyak lagi
Adapun lirik lagunya berbentuk
pantun, yang mana dua kalimat pertama merupakan cangkang (sampiran) dan dua
klimat terakhir adalah eusi (isi). Umumnya, pantun bersifat kebirahian dan
asmara yang menghadirkan nuansa cerah, gembira dan humoritis. Uniknya, selain
lagu dengan lirik yang sudah dipersiapkan sebelum main, terkadang ronggeng juga
melantunkan lagu yangliriknya dibuat seketika (spontan).
Sementara itu, dalam hal tata
busana umumnya ronggeng menggunakan kebaya, sinjang (celana panjang), sabuk,
dan beragam aksesoris, seperti gelang dan kalung. Adapaun penari pria, biasanya
menggunakan kostum berupa baju kampret berwarna gelap, celana pangsi, ikat
kepala dan sabuk kulit.
0 Komentar