Ronggeng adalah sebutan bagi seorang penari wanita yang ngamen di
sebuah lapangan atau di pinggir-pinggir jalanan. Secara umum ronggeng berarti
wanita yang tugasnya menari dan bernyanyi di arena seni rakyat. Sebutan
ronggeng secara khusus hanya ditujukan kepada wanita yang bersedia menari
dengan sembarang pria dengan harapan memperoleh imbalan sekedarnya.
Ronggeng memang merupakan penari wanita yang
mempertunjukkan tariannya untuk mendapatkan upah. Hal ini sesuai dengan
kata rong-ga-ing. Rong artinya gerong, yakni
bentuk nyanyian Jawa Tengah. Ga artinya menari,ngalaga (memperlihatkan
kebolehan) dan “ing”artinya “pada”. Jadi, ronggeng itu
adalah wanita yang membawakan tarian dan nyanyian pada seni tayub, seni abrag,
seni banjet, seni ketuk tilu dsb).
Meskipun demikian, pengertian ronggeng di masa
lalu sangat berbeda dengan pengertian di masa sekarang. Tari ronggeng dan
penari ronggeng memberikan pengertian yang kurang sedap bila dikaitkan dengan
hal-hal yang tidak artistik atau murahan, sementara pengertian ronggeng tempo
dulu tidaklah demikian halnya.
Alkema dalam bukunya yang berjudul Volkkunde
van Nederlanndsche Indie (Harlem 1927), menerangkan bahwa tari
ronggeng berasal dari tarian syaman yang merupakan tarian
pendeta wanita yang fungsinya sebagai penghubung dengan dunia luar untuk
memanggil roh nenek moyang. Di
kemudian hari, tari sejenis ini dipergunakan dalam berbagai upacara keagamaan. Selain itu menurut Breton de Nijs, Amsterdam 1961, profesi sebagai ronggeng bukan merupakan pekerjaan yang hina di zaman dulu, meskipun mereka adalah penari jalanan. Bahkan, penari ronggeng itu adalah orang-orang terpandai di kampungnya dan pada umumnya mereka adalah gadis-gadis yang kemudian hari dapat menikah dan menjadi anggota keluarga yang baik serta dapat diterima menjadi anggota masyarakat yang baik pula.
kemudian hari, tari sejenis ini dipergunakan dalam berbagai upacara keagamaan. Selain itu menurut Breton de Nijs, Amsterdam 1961, profesi sebagai ronggeng bukan merupakan pekerjaan yang hina di zaman dulu, meskipun mereka adalah penari jalanan. Bahkan, penari ronggeng itu adalah orang-orang terpandai di kampungnya dan pada umumnya mereka adalah gadis-gadis yang kemudian hari dapat menikah dan menjadi anggota keluarga yang baik serta dapat diterima menjadi anggota masyarakat yang baik pula.
Sebagai contoh ronggeng Banjar. Pada mulanya
ronggeng Banjar merupakan pendatang baru di daerah Deli, Sumatera Utara, yang
kemudian dapat mempengaruhi kebudayaan setempat yang akhirnya melahirkan karya
seni baru yang dapat diterima dan menjadi milik penduduk asli di daerah
tersebut. Ronggeng Banjar ini para penari dan ronggeng-ronggengnya pada awalnya
terdiri dari orang-orang Banjar (Banjarmasin) yang kemudian hijrah ke Deli.
Dalam proses perkembangannya, para penari wanita pendatang baru ini mendapat
perhatian dari masyarakat sekitarnya. Begitu pula dari masyarakat Jawa di
Sumatera Utara yang turut mempelajari seni tari dan pantun. Akhirnya, penduduk
asli pun tertarik dan terjun menjadi anggota rombongan rongeng tersebut. Seni
tradisional ini akhirnya menjadi milik masyarakat daerah itu dan hasil karya
para ronggeng inilah yang merupakan cikal-bakaljoget Melayu yang
dikenal dengan tari pergaulan itu. Lagu Tudung Periuk adalah
salah satu lagu yang sering dibawakan dalam kesenian ronggeng Banjar ini.
Sedangkan musik pengiringnya terdiri dari gendang besar, canang dan biola.
Proses penyajian ronggeng Banjar ini dimulai
dengan dua orang ronggeng yang memakai baju dan kain panjang. Sambil
menyanyi dan menari mereka tampil ke depan panggung sambil diikuti pelawak yang
merangkap sebagai pembawa acara. Mereka mengajak para pengamat untuk turun
gelanggang dan menari bersama mereka. Seiring dengan ditabuhnya gendang, kedua
ronggeng itu menari dan menyanyi bersahuit-sahutan dengan para penari pria
tadi. Pada masa lalu adat sopan santun masih dijaga dengan kokoh, sehingga
mereka benar-benar menari tanpa memperlihatkan hal-hal yang seronok. Setelah
selesai menari, para pria membayar sesuai dengan kemampuannya.
Di Kuningan, imbalan yang diberikan kepada
ronggeng disebut banceran. Biasanya sebelum menari, para tamu
pria yang ingin menari meminta lagu Patam-Patam, yakni jenis lagu
untuk mengiringi gerak tari silat atau penca. Dalam tarian itu mereka saling
memamerkan keterampilannya, bahkan berebut turun ke gelanggang. Dalam suasana
demikian sering terjadi keributan yang puncaknya adalah perkelahian yang
dilakukan di arena untuk menari. Apalagi, kalau dalam pesta tari ronggeng ini
para penari tamunya menenggak minuman keras.
Pada umumnya penari ronggeng mempunyai ciri
khas dalam kostumnya, yakni pemakaian selendang yang panjang. Aksesori ini
selain berfungsi senbagi pelengkap kostum dan penghias gerak, juga berfungsi
sebagai alat untuk bercumbu-cumbuan. Gerak tarian ronggeng serupa dengan gerak
tari pergaulan rakyat, dimana gerakannya banyak menggunakan gerakan jalan,
maju, mundur dengan penekanan gerakan pinggul yang disertai dengan gerak lemah
gemulai tangan dengan mengayun-ayunkan selendang.
Pada awalnya, dalam pertunjukkannya, ronggeng
menari seorang diri untuk memikat dan mengundang pasangan pria agar menari
bersamanya. Kemudian, tarian tunggal oleh ronggeng ini disusul dengan tarian
berpasangan atau sering pula disebut dengan tayuban. Tarian
ini diiringi dengan gamelan sederhana yang terdiri atas kendang, rebab, ketuk
dan goong. Tetapi ada kalanya tarian sejenis ini mempergunakan alat musik
seperti rebana, terebang dan angklung.
Nama peronggeng yang termasuk dan membantu Ki
Dalang Brajanata, dalang tenar di Jawa Barat, adalah Nyi Ronggeng Arwat
(ronggeng ketuk tilu). Masuknya Nyi Arwat ke panggung wayang merupakan prakarsa
Brajanata (putra camat Kendal, Leles). Brajanata juga merupakan dalang yang
menggunakan bahasa Sunda dengan sangat baik, dan menggunakan gerak-gerak tari
dan lagu-lagu Sunda yang matok sehingga menjadi panutan para dalang Bandung.
Pada tahun 1975, para ronggeng di Jawa Barat
dijuluki dengan mengunakan nama-nama burung seperti Nyi Kasijah (istri Dalang
Takrim) dikenal dengan sebutan Si Gagak, Nyi Ene menjadi Nyi Koreak), Nyi
Asmara menjadi Nyi Ciung, Nyi Suki menjadi Nyi Ekek, Nyi Idah, istri Dalang
Suhaya Atmaja menjadi Nyi Koreak dan Nyi Imik menjadi Si Heulang Muda.
Pada jaman dulu, banyak di antara para dalang
yang menikah dengan ronggengnya seperti Ki Takrim yang menikah dengan Nyi
Kasijah, Ki Dalang Mochtar dengan Nyi Wari, Ki Dalang Elan Surawisesa dengan
Nyi Sekar Muda, Ki Dalang Entah (dalang Bogor) dengan Nyi Warna
Sari/Katem/Onih, Ki Dalang Endong (dalang Tasikmalaya) dengan Nyi Uliah, Ki
Dalang Sukatma (Cipatat) dengan Nyi Uri, Ki Taryat (Gandasoli) dengan Nyi Euis,
Ki Dalang Suhaya Atmaja dengan Nyi Idah, Ki Dalang Soma dengan Nyi Epon (Nyi
Heulang), Ki Dalang Udin dengan Nyi Imik (Nyi Sekar Muda).
Pada tahun 1977, nama-nama julukan ronggeng
berganti dengan nama lain seperti Si Kumpay, Si Manis, Si Kalong, Si Pelor, Si
Geureuleung, Si Mata Roda, Si Layung dsb. Tahun 1943, Nyi Arnesah mengusulkan
untuk mengganti istilah ronggeng menjadi pesinden dengan alasan bahwa sinden
wayang tidak sambil menari dan pakaiannya pun tidak demikian. Sejak itulah istilah
ronggeng berganti menjadi pesinden.
Ronggeng di Sunda
Indonesia memiliki
kesenian yang sangat beragam. Di antara beragam kesenian, salah satunya yang
sangat terkenal adalah tari Ronggeng Gunung.
Tarian ini berasal dari Sunda, Jawa Barat, dan tersebar hampir di seluruh Tanah
Pasundan, termasuk di Pangandaran. Dalam sejarahnya, tari Ronggeng Gunung dikisahkan sebagai bentuk
penyamaran Dewi Siti Semboja dari Kraton Galuh Pakuan Padjajaran. Dewi Siti
ingin membalas dendam atas kematian kekasihnya bernama Raden Anggalarang yang
tewas di tangan perampok pimpinan Kalasamudra saat tengah perjalanan menuju
Pananjung, Pangandaran.
Saat itu Dewi Semboja
selamat dan bersembunyi di kaki gunung sekitar Pangandaran. Kemudian Dewi Semboja
dan pengiringnya menyamar sebagai Nini Bogem, yaitu penari ronggeng keliling
yang diiringi para penabuh gamelan. Mereka berkeliling ke seluruh wilayah
kerajaan hingga ke pelosok pegunungan dengan tujuan untuk mencari pembunuh
kekasihnya tersebut. Dewi Samboja sendiri ada yang menyebut sebagai putri ke-38
Prabu Siliwangi.
Kisah ini diperkuat
dengan ditemukannya bukti arkeologis tahun 1977 berupa reruntuhan candi di
Kampung Sukawening, Desa Sukajaya, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis.
Kalangan arkeolog menyebutnya Candi Pamarican, tetapi masyarakat setempat lebih
mengenalnya sebagai Candi Ronggeng. Dinamai Candi Ronggeng karena di sekitar
lokasi ditemukan arca nandi dan batu berbentuk kenong atau gong kecil. Gong
kecil itulah yang dipercaya mempunyai kaitan erat dengan kesenian Ronggeng
Gunung.
Sebenarnya kesenian
Ronggeng Gunung bukan sekadar hiburan, tetapi juga pengantar upacara adat.
Dalam mitologi Sunda, Dewi Samboja atau Dewi Rengganis hampir sama dengan Nyai Pohaci Sanghyang Asri yang
selalu dikaitkan dengan kegiatan bertani dan kesuburan. Karena itu, tarian
Ronggeng Gunung melambangkan kegiatan Sang Dewi saat bercocok tanam, yakni
sejak turun ke sawah, menanam padi, memanen, hingga akhirnya syukuran atas
keberhasilan panen.
Guna keperluan
pertunjukan adat dan hiburan, Ronggeng Gunung dibedakan cara penyajiannya.
Ronggeng untuk upacara adat dibawakan dengan pakem tertentu, seperti pentingnya
tata urutan lagu, sedangkan Ronggeng untuk hiburan biasanya lebih fleksibel
karena tidak ada pakem urutan lagu. Seni tari Ronggeng Gunung mirip tari
Jaipong, yang juga berasal dari Jawa Barat. Namun, tari ini memiliki ciri khas
tersendiri, bahkan banyak tari Ronggeng di zaman sekarang adalah perkembangan
dari tari Ronggeng Gunung.
Seni tari ini
dipentaskan oleh lima orang wanita berpenampilan cantik dan luwes dengan satu
penari utama mengenakan selendang dan diiringi oleh pengibing, yaitu sekelompok
laki-laki yang mengenakan sarung, sinden, dan penabuh gamelan. Irama musik yang
berasal dari irama tabuhan kendang, boning, dan gong menghasilkan irama
sederhana, tetapi auranya mampu menggetarkan hati penonton.
Kesenian ini memiliki
satu aturan yang tidak boleh dilanggar, yaitu antara penari dan pengibing tidak
diperbolehkan melakukan kontak langsung. Mereka juga harus memiliki fisik kuat
karena pertunjukan dapat berlangsung selama berjam-jam.
Tari Ronggeng Gunung
mengalami masa keemasan pada 1970-1980, tetapi tenggelam satu dekade kemudian.
Memasuki era 1990-an, sebagaimana kesenian rakyat lainnya, tari ini terancam
punah karena tidak ada peminat dan sepinya tawaran untuk tampil. Satu per satu
kelompok ronggeng pun pensiun hingga hanya menyisakan sedikit peronggeng.
/www.facebook.com/notes/wayang-nusantara-indonesian-shadow-puppets
0 Komentar